Catatan Penulis: Karena banyaknya orang yang membaca postingan ini, saya merasa perlu mengklarifikasi bahwa saya ingin teman-teman tidak hanya melihat teror yang terjadi kepada saya tapi juga nilai kemanusiaan dibaliknya. Hari itu, saya dan keluarga saya ditolong oleh orang baik. Di tengah kengerian yg terjadi, saya bisa selamat karena orang baik yang berani beraksi tanpa peduli SARA. Saya harap dengan tulisan ini bisa lebih menginspirasi khalayak banyak untuk berani menjadi Pak Mamat lainnya. Saya masih ingat dengan sangat jelas apa yang terjadi di hari itu. Persis di tanggal hari ini, jam dimana blog post ini ditulis yaitu sekitar jam 1 siang, saya sedang bermain LEGO dengan kakak laki-laki saya yang duduk di kelas 6 SD. Di saat itu, kami sering mendatangi tempat shooter adventure game bernama Planet Laser yang ada di Pluit Village (saat itu namanya masih Megamall Pluit). Kami bisa mendatangi Planet Laser 2-3x seminggu saking kami keranjingan main tembak-tembakan laser-laseran disana. Jadi ketika Ibu saya tiba-tiba masuk ke kamar bersama dua asisten PRT sambil membawa tas besar, saya dan kakak saya berpikir bahwa kami akan diajak bermain lagi. Ibu bilang kalau kita akan pergi menginap beberapa hari diluar. Wah, saya dan kakak saya lebih senang lagi. "Asik, liburan!" pikir kami. Saya ingat waktu itu saya masih berpikir bahwa minggu depan sekolah sedang banyak PR, jadi waktu Ibu mengepak, saya memasukkan LKS ke dalam tas. Disaat itu saya tidak tahu bahwa hari itu adalah minggu terakhir saya akan berada di Jakarta. Rumah tempat kami tinggal dulu ada di Latumenten Raya, daerah Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Kami tinggal di ruko yang lokasinya tepat berada di pinggir jalan. Jadi ketika kerusuhan pecah, rumah kami menjadi salah satu target empuk karena lokasi kami yang tidak tertutup cluster maupun pagar apapun. Di dalam rumah saat itu ada 2 asisten PRT perempuan, 3 karyawati, dan satu keluarga berisi 4 orang: Ayah, Ibu, kakak saya dan saya. Ayah saya adalah satu-satunya laki-laki dewasa yang ada di rumah. Rumah kami diserbu. Dari lantai 3, kami mengintip dengan takut dan saya menyaksikan massa yang berkumpul dibawah rumah kami, menggedor-gedor pintu kami (untungnya di ruko kami pintu bawah rumah kami bentuknya seperti pintu garasi, semuanya besi, dan digembok dari dalam). "Buka mbak! Buka mbak!" teriak orang-orang dibawah. Ayah langsung lari kebawah, menambah gembok rumah dari dalam dan mematikan listrik. Kami semua bertahan di dalam rumah sambil berdoa supaya mereka tidak membakar rumah kami. Karyawati-karyawati Ayah saya menangis. Ibu saya terus membaca doa rosario. Saya dan kakak saya tidak mengerti, kenapa mereka semua membenci kami sampai sebegitunya? Apa yang pernah kita lakukan terhadap mereka? Kami tidak kenal orang-orang didepan pintu kami. Kami tidak tahu siapa mereka. Yang kami tahu hanya mereka tiba-tiba muncul dan ingin membunuh kami. Kami tidak kenal orang-orang didepan pintu kami. Kami tidak tahu siapa mereka. Yang kami tahu hanya mereka tiba-tiba muncul dan ingin membunuh kami. Saya tidak tahu berapa lama waktu berlalu sampai akhirnya massa membubarkan diri, saya juga tidak tahu kenapa akhirnya mereka memutuskan untuk pergi. Hitungan menit serasa lambat. Waktu serasa berhenti. Lalu kami mendengar gedoran dari garasi, dan kali ini gedoran tersebut datang dari satu tangan. Orang itu adalah pemilik warung yang membuka kios sederhana di depan rumah kami, seseorang keturunan Jawa yang menganggap saya dan kakak saya seperti anaknya sendiri. "Cepetan kabur Pak, mereka lagi jalan ke jalan besar. Saya bantu liatin di depan, Bapak cepat kabur sekarang!" Di belakang rumah kami tadinya masih lahan kosong. Lahan tersebut ditumbuhi pohon cemara dan rumput-rumput yang tinggi. Sebenarnya lahan itu tidak seberapa luasnya, namun di pandangan seorang bocah kecil, bagi saya lahan itu sudah seperti hutan. Kami berlari cepat melewati tembok rusak yang memagari lahan tersebut dari ruko kami. Jalan sambil bergandengan tangan. Saya hampir jatuh ke sumur yang tertutup rumput tinggi, tapi ditarik Ibu saya. Kami jalan berbondong-bondong dengan Ayah saya didepan. Di belakang lahan itu, banyak rumah-rumah kecil yang tidak berada di lapisan depan jalan raya. Jalanan kosong. Ada satu keluarga keturunan Tionghoa yang membukakan pintu rumahnya kepada kami. Mereka menyuruh kami masuk walau kami tidak kenal mereka. Kami semua bernaung di rumah itu sampai malam tiba dan situasi mendingin. Malam hari. Karyawati-karyawati Ayah dijemput oleh keluarga masing-masing dan berhasil melarikan diri. Karyawati Ayah banyak yang keturunan Sunda dan Jawa. Mereka tidak menarik terlalu banyak perhatian. Ayah saya memastikan mereka pulang dengan selamat. Keluarga saya berjalan kaki kembali menuju rumah saudara Ayah yang paling dekat. Kami bernaung disana. Disaat itu Ayah bersama keluarga lainnya merencanakan langkah berikutnya, saya dan kakak saya terus berada didekat Ibu. Saya terlalu kecil untuk mengerti peliknya masalah yang sedang terjadi. TV terus disetel menuju berita. Dan dari situ kami mengetahui bahwa rumah kami adalah salah satu tempat awal pecahnya kerusuhan. Ruko kami tersorot TV. Kemudian tiba-tiba kami mendengar kabar bahwa ada massa yang sedang bergerak menuju ke perumahan tersebut untuk menyisir warga keturunan Tionghoa. Semua laki-laki dihimbau untuk ikut bertarung kalau sampai kekerasan terjadi. Ayah ikut keluar rumah untuk berjaga-jaga. Sebelum ia pergi, ia mengambil beberapa benda tajam dan dibagikan ke keluarganya karena ia ingin kami bisa melindungi diri. Saya berumur 10 tahun saat itu. Dan ditangan kecil saya, saya memegang parang. Ayah berkata "kalau sampai terpaksa, kamu harus siap mandi darah malam ini." Perkataan itu membekas di ingatan saya sampai sekarang. Saya tidak terlalu berpikir panjang saat itu, namun saya tahu sejak saat itu ada yang berubah didalam diri saya. Saya sudah tidak bisa lagi menjadi bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak perduli dengan umur maupun jenis kelamin kami, yang mereka lihat hanyalah kulit dan mata kami. Disaat itu saya berhenti menjadi anak kecil. Perkataan Ayah juga memiliki arti bahwa saya harus siap melukai orang, saya harus siap mandi darah jika saya ingin selamat. Perkataan itu berat, terlalu berat untuk dicerna otak saya yang masih kecil. Saya tidak bisa membayangkan perasaan ayah saya yang harus meninggalkan keluarganya dengan benda-benda tajam untuk keamanan kita semua. Saya hanya ingat Ibu terus menangis dan berdoa supaya tidak terjadi apa-apa. Saya berumur 10 tahun saat itu. Dan ditangan kecil saya, saya memegang parang. Ayah berkata "kalau sampai terpaksa, kamu harus siap mandi darah malam ini." Dan untungnya memang tidak terjadi apa-apa. Ayah kembali dengan selamat. Ancaman massa masuk ke dalam perumahan tidak terjadi, dan para laki-laki kembali ke rumahnya masing-masing. Ayah membayar beberapa orang untuk mengawal kami kembali ke ruko. Semua barang kami ada disana, dan kami memerlukannya untuk bisa kabur. Subuh-subuh sekitar jam setengah 4 pagi, kami sekeluarga berjalan kembali ke rumah dengan dikawal. Saya ingat supaya tidak menarik perhatian, kami harus berjalan terpisah-pisah dan tidak bergerombol. Saya berjalan dengan Ibu saya berdua, dan kakak saya berjalan dengan Ayah di depan. Kami menjaga jarak sambil ditutupi oleh orang-orang yang mengawal kami. Sampai di rumah, saya ingat ribuan pecahan kaca di depan ruko kami. Jendela kami yang ada di lantai 2 hancur berantakan. Kami masuk ke dalam ruko, mengambil tas yang kami tinggalkan. Di dalam tas itu masih ada LKS yang saya masukkan untuk kepentingan sekolah di minggu depan. Kami langsung pergi menggunakan mobil ke bandara untuk kabur ke Singapura. Hal terakhir yang saya ingat di minggu penuh mimpi buruk itu adalah bangkai-bangkai mobil di jalanan dan bandara yang penuh sesak dengan orang. Saya ingat bertahan di bandara selama lebih dari 12 jam untuk akhirnya bisa mendapatkan bangku pesawat. Sejak saat itu, kehidupan keluarga kami berubah total. Ayah saya tadinya adalah pedagang sepatu wanita. Ayah memiliki 10 toko di Jakarta dan beberapa cabang diluar kota. 9 toko kami dijarah dan dibakar. Bisnis Ayah rusak. Keluarga kami terpuruk. Kami bisa bertahan sampai sekarang karena Ibu saya yang akhirnya turun tangan kembali bekerja dan masuk ke perusahaan asuransi sampai anak-anaknya tumbuh besar. Keluarga kami masih bisa dikatakan beruntung karena paling tidak kami masih utuh. Tapi saya tahu bahwa tidak semua orang seberuntung kami. Saya berbagi cerita ini karena saya prihatin. Saya ingin percaya bahwa masyarakat Indonesia sekarang sudah jauh lebih cerdas dan toleran terhadap etnis dan agama tertentu. Dan saya tidak salah, memang kita sekarang sudah lebih mawas diri dan cerdas dalam bepikir. Namun masih ada oknum-oknum tertentu yang ingin menebarkan kebencian dan perselisihan berdasarkan SARA. Mereka ingin menggunakan strategi adu domba seperti 98, tapi kita tidak akan membiarkan hal itu terjadi. 98 adalah tragedi berdarah di Indonesia yang tidak boleh kita biarkan terulang kembali. 19 tahun lalu kami diam. Sekarang saya punya suara. Begitu juga dengan Anda. Sifat pasif dimana kita diam dan legowo adalah sifat kesukaan orang-orang yang ingin memanfaatkan kediaman kita dengan berteriak lebih keras lagi. Kejahatan bisa terjadi bukan hanya karena orang-orang jahat beraksi, tapi juga karena orang-orang baik tidak berbuat apa-apa. Saya berharap dengan tulisan ini, kita semua lebih berani untuk menyuarakan pendapat dan suara kita. Mungkin ini semua tidak akan ada hasilnya. Mungkin perubahan yang kita impikan tidak akan terjadi sampai anak cucu kita besar. Mungkin Indonesia memang belum saatnya maju. Tapi saya menolak untuk diam. Saya memilih untuk berperang dan kalah daripada tidak berperang sama sekali. Dan saya tahu kali ini saya tidak sendiri. Tuhan memberkati kita semua. Jakarta, 14 Mei 2017 Bernice Nikki PS. God bless you, alm. Pak Mamat pemilik warung kiosk sederhana di depan rumah. Karena Bapak, keluarga saya sekarang masih hidup dan sehat walafiat. Bapak lah contoh keturunan WNI yang sebenarnya. Semoga Bapak tenang di surga sana dan keluarga Bapak terus diberikan berkat berlimpah dari Tuhan YME. You're my hero. Rest in Peace.
5 Comments
Athay Lee
5/14/2017 11:16:41 pm
Memang ga semua muslim itu jahat, sebagian yg jahat krn d hasut, mudah"an ini tdk terulang lg.
Reply
Silvie Rama yuliane
5/15/2017 09:19:08 pm
Aku sakit banget hatinya pas baca INI.Saya bisa merasakan ketakutan yg MBA Bernice rasakan.Tapi tuhan sangat baik dalam melindungi keluarganya ci Bernice.Kalau peristi me I terulang krmabli.Says sebagai cucu Dari mantan pendeta jga merasa cemas
Reply
Rina Rumahorbo
5/15/2017 09:46:59 pm
Dr awal cerita, kamu ngga bilang berapa usiamu ketika itu.. Di tengah cerita baru kamu katakan, dan seketika itu, air mata saya pun mulai menetes..
Reply
L.I. Steinkuhl
5/16/2017 01:58:19 am
Berlinang air mataku membaca pengalaman ini. Bisa saya rasakan cekaman ketakutan kalian. Tidak ada orang di dunia ini yg berhak menodai baik jasmani ataupun rohani atas kehidupan orang lain. Ketakutan seperti ini tdk pantas dialami setiap manusia. Terutama tdk pantas terjadi di Indonesia yg berajaskan Pancasila dan yg rakyatnya beragama. Bukanlah agama itu alat kita utk berbuat baik, alat kita utk berjalan di jalan yg benar?bukankah perbuatan orang2 ini tdk sewenang2? Ini adalah perbuatan orang yg tdk kenal Tuhan, n tdk menjalankan agamanya dng benar, tdk manusiawi. Saya pribumi n muslim, berharap kedewasaan n kecerdasan yg manusiawi ditanamkan pada rakyat Indonesia.
Reply
Meili
5/16/2017 04:18:18 am
I was 8 that time, saat kejadian saya masih tinggal di desa kecil di Tegal... Jauh banget dari kota, waktu itu papi mami pergi ke dokter, saya, cici, dan koko sendirian di rumah sama tukang pijat langganan mami. Firasat Mbak sudah gak enak banget, waktu cici bilang Mbak pulang aja udah malem, Mbak berkali-kali nolak, sampai entah jam berapa Mbak akhirnya pulang. Waktu itu kami masih nonton TV di kamar sampai akhirnya ada ribut-ribut di luar, suara orang-orang teriak "Cina! Cina!" aku yang masih kecil waktu itu cuma bisa nangis denger suara pintu kayu kami dilempari batu :(
Reply
Your comment will be posted after it is approved.
Leave a Reply. |
AuthorHi there, I'm Bee. I'm a voice coach / musician / stage director currently residing in Indonesia. Archives
February 2020
|